Dua bulan terakhir, entah kenapa rasanya sangat rumit. Resah. Sedih. Marah. Gak berdaya. Semua campur aduk bikin diri ini gak enak dibawanya. Pernah ga sih kamu menjalani suatu hari, tapi kamu kaya ngelayang? Udah macam sundel bolong yang kerjaannya terbang dan hinggap di pohon. Rasanya kaya gitu, seperti gak napak ke bumi. Dua bulan terakhir pun jadi ajang aku memahami diri aku, yang awalnya ku pikir aku kenal diri aku, ternyata aku gak kenal. Banyak hal-hal yang bikin aku kaget tentang diri aku.
Aku pikir aku bisa melakukan banyak hal sendiri. Aku pun pikir kalau aku bisa meregulasi diri ini dengan lebih efektif dibandingkan orang lain. Ternyata aku salah. Besar. Ternyata aku seorang yang ambisius tapi rapuh. Udah kaya gedebog pisang, gak ada daya lentingnya untuk bisa bangkit kembali. Ini yang bikin aku kaget sih. Kok aku seperti ini!?
Rasa marah cukup banyak menyelimuti diri aku. Selanjutnya rasa kesal dan diikuti rasa tidak berdaya. Marah, kesal, dan tidak berdaya ini menjadi suatu kombinasi yang cukup... Apa ya... Mematikan? Kombinasi ini sedikit demi sedikit menggerogoti aku. Rambut rontok. Sakit fisik. Sulit tidur. Tidak berenergi.
Kombinasi ini jahat, menurutku. Pernah ga sih kamu merasa ga berguna barang sehari? Mungkin bisa jadi setiap hari kita merasa ga berguna hahaha. Tapi, ini lain. Serius. Selain mennggerogori akar rambut aku sehingga mereka gak bisa tumbuh lagi, pola tidur menjadi hal yang cukup signifikan. Ada masa di saat aku berpikir aku gak mau tidur karena aku takut melewatkan banyak hal. Hal itu yang membuat aku tetap terbangun sampai jam 3 pagi, bahkan pernah sampai jam 5.
Tidur menjadi 2 mata pisau. Di satu sisi, aku merasa tidur itu adalah sebuah kerugian karena akan banyak informasi yang akan aku lewatkan. Di sisi lain, tidur adalah satu hal yang sangat menyenangkan dalam satu hari, bisa lari dan bermimpi di luar apa yang sudah ditakdirkan untuk aku saat ini.
Ketika aku menulis ini, aku jadi terpikir, apakah sebenarnya aku sedang melawan takdir, ya? Ketika aku melawan, Tuhan aku memberikan aku kegundahan dan kegelisahan karena aku yang protes kepada apa yang udah Ia tuliskan? Gam tau sih. Ilmu agama aku tidak terlalu tinggi, jadi mungkin aja yang aku bilang tentang takdir itu salah.
Sungguh ini semua adalah suatu penderitaan. Aku merasa aku gak layak hidup. Gak bisa ngebahagiain orang tua. Merasa hidup kurang (karena banyak hal yang aku ekspektasikan bisa aku dapatkan dan capai ketika aku bekerja di ibukota). Di sisi lain, banyak yang bilang kalau hidup aku terlihat menyenangkan (berdasarkan Instagram Stories). Syukur lah kalau orang melihatnya seperti itu. Semoga tidak merusak harinya setiap selesai melihat postingan aku.
Kalau dikait-kaitin dengan 5 stages of grief, mungkin yang kemarin-kemarin itu aku ada di tahap denial dan angry bercampur. Sekarang aku lagi di tahap bargaining, dimana sedang mendari benefit dari apa yang aku jalani saat ini.
Aku marah karena banyak yang aku korbankan untuk berada di kota ini. Aku marah karena apa yang ekspektasikan tidak berjalan sesuai rencana.
Aku cuma ingin marah sama Tuhan aku. Tapi, apakah aku akan jadi manusia durhaka, ya?