Artemis Fowl adalah salah satu novel yang sudah aku baca sejak... Mungkin SMP. Aku punya 3 judul dari novel tersebut dan sampai saat ini baru menyelesaikan 2 judul (Kebiasaan sejak kecil menimbun novel sampai tidak ada waktu buat nyelesaiinnya). Artemis Fowl menjadi hal yang aku tunggu buat dijadiin film/serial karena aku sangat berharap kalau filmnya akan banyak memainkan CGI.
Awalnya, aku liat pengumuman di Twitter kalau Artemis Fowl akan rilis dalam bentuk film di Disney+, aku super excited, karena membayangkan imajinasiku masa SMP akan terwujud ke dalam bentuk film. Agak kecewa juga kenapa harus melalui platform Disney+. karena platform ini tidak begitu umum digunakan di Indonesia.
Beberapa hari lalu, aku sempat lupa kalau film ini sudah rilis. Entah karena marketing yang kurang terdengar gaungnya atau memang aku gak mengikuti media-media yang mempromoskan film ini. Ketika membaca twit seseorang, aku baru ingat kalau film ini sudah rilis. Sebelum menonton, aku pun mencari informasi mengenai film ini.
Rating film ini bisa dibilang lumayan, tidak terlalu bagus tapi cenderung kurang disukai (4.4 dari 10 di IMDB dan 10% di Rotten Tomatoes). Gak kaget sebenernya. Berdasarkan pengalaman yang lalu, film-film adaptasi novel anak (?) biasanya memiliki nilai yang rendah. Contoh nyatanya adalah Percy Jackson (dan aku mengaminkan mengapa 2 film Percy Jackson mendapatkan nilai yang rendah). Tapi, untuk Artemis Fowl ini, ekspektasi ku cukup tinggi, meskipun aku yakin kalau filmnya pasti mengecewakan.
Artemis Fowl bercerita mengenai seorang anak bernama Artemis Fowl yang sangat pandai dan merupakan anak dari seorang pedagang barang antik terkenal, Artemis Fowl, Sr. Secara sosial, Fowl adalah anak sulit bergaul. Mungkin tipikal anak yang sangat pandai, ketika berelasi menjadi kurang luwes. Suatu ketika, ayahnya melakukan perjalanan bisnis dan dinyatakan hilang keesokan harinya karena tidak sampai ke tempat tujuan. Sebagai anak yang tidak memiliki anggota keluarga lain (dia anak tunggal dan ibunya diceritakan sudah meninggal). Fowl sangat terpukul. Sampai tiba-tiba ia mendapatkan telepon bahwa ayahnya disekap oleh seseorang yang menginginkan Oculus.
Film ini berdurasi sekitar 1 jam 35 menit, atau 95 menit. Kesan pertama ketika aku melihat durasi filmnya adalah film ini akan singkat dan banyak menghilangkan elemen utama dari novelnya. Aku sangat yakin. Kalau semua bagian novel mau lengkap, ya mungkin akan lebih bagus jadi serial. Tapi kalau tidak ada unsur pembaharuan cerita (?) apa gunanya dijadikan film?
Setelah menonton filmnya, secara keseluruhan, aku punya perasaan yang campur aduk. Satu sisi, aku suka filmnya karena ringan dan cukup menggambarkan inti cerita Artemis Fowl di buku pertama. Namun, di sisi lain, aku ngerasa film ini kurang ada unsur emosi dan kurang membuat terikat penontonnya agar penasaran ke film selanjutnya. Film ini terkesan hanya cocok untuk dinikmati oleh anak-anak berusia 10 tahun, karena nonton film ini tidak perlu mikir dan jelas siapa orang baik dan buruk. Hanya saja sebagai penonton usia dewasa awal, macam aku, menonton ini membuat, "Loh, kok gini?"
Positif dari film ini adalah adanya tontonan untuk anak yang cukup menghibur (entah gimana respon anak-anak nonton film ini, karena kalau menurutku harusnya bisa menjadi hiburan). Plot ringan, pemain diambil anak muda dan bisa dibilang memiliki akting yang tidak terlalu buruk untuk ukuran aktor anak. Film ini seharusnya bisa menjadi film legendaris seperti Lava Girl & Shark Boy atau Spy Kids. Tapi, sayangnya, film ini tidak mencapai level itu, hanya saya film ini slightly better dibandingkan Percy Jackson.
Di samping itu, efek CGI yang cukup mendukung membuat film ini lumayan bisa dinikmati. Aku pribadi cukup suka dengan CGI-nya secara keseluruhan. Mungkin beberapa hal yang agak kurang gigit adalah make up dari karakter non-human (aku ngebayangin non-human akan mirip dengan Avatar atau Gamora di The Guardian of the Galaxy). Kehidupan bawah tanahnya pun digambarkan seperti kehidupan manusia kaya biasa, padahal ekspektasiku bentuk-bentuk makhluknya akan lebih abstrak daripada sekedar wujud manusia.
Hal yang ku rasa kurang lainnya adalah masih belum tereksplorenya beberapa karakter, seperti Juliet. I can pretend that she didn't even there. Padahal seharusnya karakter tersebut bisa membangun/mendukung ketika Fowl sedang menyusun rencana untuk membebaskan ayahnya. Bisa dihitung dengan jari kemunculan karakter ini dan ketika muncul pun tidak memiliki peran yang signifikan. Bahkan jika karakter tersebut gak dibikin, the plots will be fine. Emosi antar karakter pun kurang terbangun, sehingga jangan mengharapkan chemistry semacam trio Harry-Hermione-Ron.
Kontinuitas antar scene pun bikin aku greget. Di beberapa perpindahan scene, emosi aktor hilang ketika dilanjutkan ke scene atau point of view yang lain. Seakan-akan, aktor sedang memerankan scene yang berbeda, padahal kan lagi di satu scene gitu. Rasanya bikin kesel sih. Mungkin karena film ini targetnya anak, sedangkan aku berharap film ini akan sebagus Harry Potter atau Lord of the Rings (ya kali coy). Awalnya, aku pikir mungkin kurang tepat dalam memilih sutradara (Keneth Branagh). Tapi kalau dilihat dari rekam jejaknya, dia sudah menyutradain beberapa film yang cukup menarik, seperti Cinderella (2015) dna Murder in the Orient Express (2017). Bisa jadi juga tim editor yang kurang begitu klop dengan sutradara? Entah lah. Itu urusan belakang dapurnya.
Setelah menonton ini, aku jadi berpikir, kalau ada film lanjutannya, apakah aku akan tetap menonton atau akan skip aja? Takutnya tambah kecewa seperti aku nonton film kedua Percy Jackson.
Sampai saat ini aku masih belum bisa memutuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menurutmu gimana?