Ada sih keinginan untuk beli ini, beli itu, mau ambil ini, ambil itu, dan masih banyak lagi. Tapi, akhirnya balik lagi ke hal-hal otomatis keseharian yang bisa dibilang membosankan... atau bahkan melelahkan.
Datang ke sesi konseling adalah suatu hal yang tidak tabu bagiku. Meskipun latar belakang pendidikanku psikologi, tapi aku butuh sudut pandang dari orang-orang asing tapi tetap profesional. Aku masih menjadi orang yang menahan semua, memilih tidak menceritakan masalah yang lebih mendalam, meskipun dengan rekan/teman/sahabat. Aku masih berpikir memang perlu ada batasan. Biasanya, sekalinya aku membuka, aku yang akan (merasa) terluka. Jadi, I prefer not to say anything deep for personal safe.
Kali ini aku mendatangi sesi konseling atas undangan yang diberikan dari pihak kantor. Memang kantorku punya layanan konseling bagi pegawainya. Memang daftar tunggunya cukup panjang, yang aku ingat, aku harus menunggu sekitar kurang lebih 3 bulan dari waktu pendaftaran. Sebenarnya aku bisa mendaftarkan diri di layanan konseling luar kantor, tapi aku selalu berpikir akan membutuhkan effort yang lebih tinggi. Pada akhirnya aku sedikit demi sedikit menjadi birokrat: Baru jalan kalau ada pemanggilan/surat tugas. That's the last things that I really afraid that I will be, and here I am. Slowly becoming a commoner. That's fine tho. But, yeah, I become another commoners/walking dead...
Sesi kali ini aku tidak mengenal psikolog yang berhadapan denganku. Ya, tentu saja, memangnya aku kenal semua psikolog yang ada di muka bumi ini. Psikolognya memang tipikal psikolog: tersenyum, merespon, dan sebagainya. Aku memang seringkali skeptis kalau bertemu psikolog lain, tapi kali ini memang aku paksakan diri untuk bercerita, karena aku rasa aku butuh untuk meluapkan semua. She was nice and nothing wrong. Sesi berjalan sekitar 2 jam dan aku sungguh kaget karena biasanya aku hanya menghabiskan waktu 1 jam saja. Respon dia cukup menampar di akhir sesi, karena dia menyadarkan aku kalau selama bercerita aku gak bernafas. Dia menyadarkan aku kalau selama sesi dia menarik nafas beberapa kali sebagai respon dari apa yang aku ceritakan. Dia sadar kalau memang seharusnya ini keluar semua. Sudah saatnya. Pada akhir sesi, aku mendapatkan tugas kalau aku perlu untuk mencari tujuan hidup.
A Purpose.
Ternyata semua yang aku rencanakan saat ini bukan sebuah tujuan yang kuat. To be honest, I already what I want. Oleh karenanya tujuan-tujuan selanjutnya tidak berasa matters.
Sesi kali ini membawa banyak pekerjaan rumah. Dari mulai menerima apa yang aku rasakan, mengekspresikan dengan lebih "sehat", mengurangi waktu bermedia sosial dimana memilih reconnect, dan menjalani hari dengan lebih mindful. Semua itu memang basic dari menjalani hidup yang lebih baik. Tapi, sesuatu hal yang basic kadang sulit untuk dilakukan. Seperti dulu ketika aku mengikuti beberapa kelas yoga. Aku sangat benci kalau masuk kelas Hatha Yoga, kena gerakannya basic dan mengulang-ngulang dan menahan saja. Aku lebih tertarik untuk ikut kelas Power Vinyasa, yang menurut testimoni ini adalah kelas yang lebih advanced. Jadi, aku pikir seperti itu lah saat ini. Mungkin aku harus mulai menjalani hal-hal yang lebih sederhana mengingat apa yang saat ini aku jalani cukup banyak. Ledakan informasi yang aku dapat dari medsos bisa jadi menjadi salah satu yang membuat aku overwhelmed.
Reconnect with people.
Okay, that doesn't sound so bad at all.
Kebetulan setelah sesi ini, beberapa hari kemudian aku diajak mengikuti kegiatan alumni kampus. Aku pikir, mungkin ini saatnya aku mengaplikasikan apa yang disarankan dalam sesi konseling. But, you know what... setelah kegiatan itu aku makin merasa inferior.
Oh iya, sedikit cerita kenapa sampai muncul saran itu adalah aku bercerita kalau aku disconnect dengan temen-temen di kampus karena merasa tiap ketemu temen itu aku merasa gak percaya diri dan banyak perasaan yang campur aduk, mengarah ke perasaan negatif. Biangnya karena pekerjaan sih. Aku merasa dengan pekerjaan aku saat ini tidak memberikan pride yang cukup tinggi. Jika membandingkan rekan lain yang bekerja di sektor swasta, banyak hal yang telah mereka raih. Mereka pun banyak memiliki pengalaman dan pengetahuan yang dapat membuat mereka lebih bernilai di lingkungan. Sedangkan, aku merasa dengan pekerjaan aku saat ini aku merasa bukan siapa-siapa. Hanya pekerjaan administratif yang dilakukan untuk mendukung orang lain dan kerap kali membereskan pekerjaan orang lain yang tidak pernah diarahkan. Ya, kembali lagi, aku masih merasa sama seperti ketika aku kuliah. Aku sebagai vacuum cleaner. I keep cleaning the mess that people made. Bukan mendiskreditkan jenis satu pekerjaan, tapi rasanya aku cuma beresin hal-hal yang istilahnya udah jadi shit. Lebih buruk dari menjadi cleaning service. Tapi, pada akhirnya, orang-orang yang bikin shit itu yang dapat apresiasi. Shit happens, shiting on me for sure. Istilahnya aku malu ketemu temen-temen karena aku ibaratnya cuma pembersih shit doang, sedangkan orang lain sudah fly high, or even higher; sudah membangun rumah beberapa tingkat ke atas, sedangkan aku masih beresin fondasi.
Kembali ke cerita. Setelah kegiatan itu aku super amat sangat merasa inferior. Ibaratnya feel like a shit. Mereka semua orang-orang hebat. Punya inovasi ini, itu, dapat kesempatan ini, itu, menjabat ini, itu. Pada saat itu aku merasa reconnect with people is a really bad idea.
Kemudian beberapa saat setelah acara tersebut, ada wacana terkait Reuni Angkatan SMP. Mendengar wacaran tersebut menjadi sebuah total nightmare. Hell, no. I will never ever go to that event. Istilahnya aku sudah menjadi shit, dan aku gak mau menjadi shiter setelah acara tersebut. Guess, what? I went to the event ☺
Aku gak tahu apa yang membuat aku memutuskan untuk mendatangi event tersebut. Hanya ada perasaan rindu aja ketemu orang-orang yang sudah lama aku gak temui. Jujur, jantungku berdebar mulai dari naik kendaraan menuju Bandung, sampai di depan pintu gerbang sekolah pun membuat jantung ini makin kencang memompa darah ke seluruh tubuh. Tangan aku tiba-tiba berkeringat banyak, meskipun cuaca saat itu cukup cerah dan sejuk untuk ukuran Cimahi. Aku mulai meyakinkan diri kalau tidak ada salahnya untuk menampakkan muka, menyapa beberapa teman lama, dan kalau memang tidak nyaman, ya langsung pulang aja. Tapi, ternyata semua ketakutan aku salah. I was enjoying the event. Entah kenapa mendengar cerita temen-temen saat ini tidak sedikit pun membuat aku inferior. Hal ini berbeda dengan event sebelumnya. Aku merasa teman-teman ini lebih tulus dan lebih netral ketika melihat aku. Aku tiba-tiba nyaman, meskipun aku lupa bagaimana rasanya bersama mereka ketika sekolah. Aku jadi berpikir, apa selama ini aku connect dengan orang-orang yang kurang tepat di waktu yang salah?
Setelah acara ini, jujur membuat aku lebih bersemangat dan aku merasa lebih bersemangat. Ini berlebihan, tapi aku senang masih bisa lihat teman-teman lama aku, yang untuk saat ini sudah gak punya ikatan emosional apa-apa. Rasanya seperti bertemu orang asing yang familiar dengan cerita-cerita barunya. That was fun.
**
Beberapa waktu lalu, aku iseng-iseng membuka buku kecil yang dulu pernah aku tulis dengan keluh kesah atau hal-hal yang aku rasakan ketika bekerja. Aku membaca satu halaman terkait dengan sesi konselingku terdahulu dengan psikolog yang sebelumnya ada di kantorku. Kaget. Isinya ternyata mirip dengan saat ini.
Aku harus menentukan tujuan.
Suprisingly, it hits me. Ternyata dari 2 tahun lalu aku sudah diingatkan untuk mencari tujuan. Mungkin saat itu tidak terlalu memukul, sehingga aku tidak mencari tujuan setelah sesi itu. Kali ini, sampai beberapa hari aku mencari tujuan untuk hidup aku. Dengan berbekal dua hasil konseling, aku mencoba cari tujuan. Sampai sekarang aku belum menentukan. Aku belum tahu mau apa. Urusan karir, aku gak mau mengejar karena memang there's no future for me di urusan karir. I've never been someone's favorite, istilahnya. So, dalam hal karir, udah gak ada yang bisa aku kejar. Aku pun kurang menikmati "sikut-sikutan" implisitnya. Aku gak punya banyak pilihan juga sih. I'm not that good at sports and communities. Membuat tujuan malah bikin stress sih jujur. Aku ngapain, dong? But, so far, aku mulai menjalani olahraga rutin dan mulai lagi skincare. Tujuannya sekarang ingin badan lebih fit aja. Aku mau live longer and live better. Tujuannya masih abstrak. Tapi, aku bingung mengoperasionalisasikannya seperti apa. Karena kalau operasionalnya sangat konkret, sebenarnya akan lebih memudahkan untuk mencapainya. Mengingat saat ini masih samar, jadi live longer and better akan menjadi tujuan hidup aku saat ini. Mungkin nanti kalau udah ada tujuan spesifik, nanti aku akan cerita lagi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Menurutmu gimana?